JurnalPost.com – Di balik setiap kasus besar—korupsi, perdagangan manusia, kekerasan seksual—selalu ada orang-orang berani yang memilih untuk tidak tinggal diam. Mereka, para saksi dan korban, bertaruh segalanya demi menegakkan keadilan. Tapi, sayangnya, keberanian mereka sering kali tak sebanding dengan perlindungan yang mereka terima.
Kita memang sudah punya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, yang kemudian diperkuat melalui Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014. Tapi kalau mau jujur, aturan ini masih jauh dari sempurna. Di atas kertas memang terlihat ideal, tetapi di lapangan? Banyak saksi dan korban harus berjuang sendirian, menghadapi ancaman, tekanan, bahkan intimidasi, tanpa perlindungan yang benar-benar efektif. Karenanya Revisi atas UU tersebut menjadi keharusan yang harus disegerakan.
Berjuang dengan Tangan Terikat
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) seharusnya menjadi benteng utama bagi mereka yang berani bersuara. Tapi bagaimana bisa maksimal kalau anggaran LPSK hanya sekitar Rp116,2 miliar untuk seluruh Indonesia pada 2023? Dengan dana ‘sekecil’ itu, LPSK harus menangani ribuan permohonan perlindungan dari berbagai kasus berat, mulai dari korupsi kelas kakap sampai kekerasan seksual di pelosok desa.
Belum lagi, kantor LPSK hanya tersedia di Jakarta, Yogyakarta, dan Medan. Bayangkan saksi di pelosok Papua, Maluku, atau Kalimantan—mereka yang mungkin sangat membutuhkan perlindungan—harus berjuang sendiri mencari akses yang layak. Ini bukan sekadar soal jarak geografis, tapi soal hak dasar untuk merasa aman dan dilindungi negara.
Sementara itu, para pelapor atau whistleblower—orang-orang yang dengan keberanian tinggi membongkar kejahatan di institusi atau komunitas mereka—sering kali malah menjadi korban kedua. Mereka diintimidasi, dijauhi, bahkan dipecat, tanpa ada jaminan perlindungan hukum maupun sosial. Justice Collaborator—yaitu saksi pelaku yang membantu membongkar kejahatan besar—juga menghadapi nasib yang tidak kalah buruk. Mereka masih sangat rentan terhadap ancaman fisik dan psikologis, tanpa adanya jaminan relokasi, pengamanan intensif, atau dukungan psikologis yang layak.
Tidak hanya itu, kelompok rentan seperti perempuan korban kekerasan seksual, anak-anak korban kekerasan, dan penyandang disabilitas sering kali tidak mendapat layanan perlindungan yang sesuai kebutuhan mereka. Trauma konseling khusus, layanan hukum ramah anak, fasilitas aksesibilitas—semua itu masih jauh dari kata merata.
Belajar dari Dunia Internasional
Indonesia sebenarnya bukan tanpa upaya. Kita sudah menandatangani beberapa konvensi internasional penting seperti UN Convention Against Transnational Organized Crime (UNTOC) dan UN Convention Against Corruption (UNCAC). Kedua konvensi ini secara tegas menempatkan perlindungan saksi, korban, dan pelapor sebagai elemen vital dalam penegakan hukum.
Misalnya, Pasal 24 UNTOC dalam penjelasannya mendorong negara-negara untuk menyediakan opsi relokasi permanen lintas negara bagi saksi yang berisiko tinggi. Ini penting, terutama untuk kasus-kasus seperti perdagangan manusia yang jelas-jelas melibatkan jaringan internasional.
Sayangnya, di Indonesia, sistem relokasi masih terbatas domestik dan sifatnya sementara. Belum ada kerangka kerja yang memadai untuk kolaborasi antarnegara dalam melindungi saksi atau korban. Padahal, tanpa mekanisme itu, banyak saksi tetap dalam bahaya, dan banyak kasus besar bisa gagal dibongkar karena sumber informasinya terancam.
Revisi UU Jangan Tambal Sulam
Kalau berbicara soal perlindungan saksi dan korban, kita tidak boleh hanya memperbaiki redaksi hukum atau memperhalus istilah. Perubahan kali ini harus benar-benar menyeluruh. Harus berani membenahi sistem dari akarnya.
Kita harus mengadopsi prinsip dari UNCAC Pasal 33, yang secara eksplisit melarang segala bentuk pembalasan terhadap pelapor. Perlindungan hukum, perlindungan kerja, bantuan psikologis, bahkan anonymisasi identitas harus menjadi bagian dari paket perlindungan komprehensif.
Dana ini nantinya digunakan untuk menyediakan layanan rehabilitasi korban: konseling trauma, dukungan sosial-ekonomi, pendidikan, bahkan relokasi kalau diperlukan. Dengan begitu, korban tidak dibiarkan berjuang sendiri setelah mengalami tragedi.
Saatnya Negara Hadir Sepenuhnya
Revisi Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban bukan sekadar proyek legislatif biasa. Ini adalah soal membuktikan bahwa negara berpihak pada keberanian, kebenaran, dan keadilan.
Kalau kita gagal membangun sistem perlindungan yang kuat, berarti kita ikut membiarkan suara-suara yang seharusnya menyalakan harapan malah tenggelam dalam ketakutan. Kita tak bisa lagi berpura-pura tidak tahu.
Waktunya negara benar-benar hadir—bukan hanya dalam teks hukum, tetapi dalam tindakan nyata—untuk melindungi mereka yang memilih berdiri di pihak kebenaran.
Yogyakarta, 26-04-2025
Muhammad Aga Sekamdo*
*Dosen STIA Madani, Dewan Pengawas Kolaborasi Pemuda Indonesia (KOPI)
sumber: JurnalPost 27 APril 2025
--> arsip aga manusia biasa Keluarga Terbaik <--
arsip aga manusia biasa
Resign dari Dakwah : Menelisik Diri untuk Berbenah
Buku ini disusun sebagai pengantar bagi siapa saja yang ingin memahami dasar-dasar konseling dalam konteks kesehatan mental. Dalam beberapa tahun terakhir, kesadaran akan pentingnya kesehatan mental semakin meningkat, namun masih banyak yang belum memahami peran strategis konseling sebagai salah satu pendekatan penanganannya. Oleh karena itu, buku ini hadir untuk memberikan penjelasan menyeluruh mengenai prinsip prinsip dasar konseling, keterampilan yang diperlukan oleh seorang konselor, hubungan terapeutik, serta pendekatan-pendekatan yang umum digunakan dalam praktik konseling.
order buku disini
arsip aga manusia biasa MENGHORMATI YANG TIDAK BERPUASA?
arsip pandangan kehidupan aga Gerbang Tol
sumber: TribunJogja Selasa, 18 Februari 2025
#Jujitsu #Kejuaraan #Jawa Timur #Sangun
arsip aga tentang zuhud kehidupan Ketika Mbah Jalil dari Tulungagung ditanya santrinya
arsip kehidupan aga Nasyid Menggeliat
Kabar Baru, Opini – Pada 19 September 2024, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia akhirnya mengesahkan revisi Undang-Undang Keimigrasian yang kini dikenal dengan Undang-Undang Nomor 63 Tahun 2024. Revisi ini tak hanya sekadar pembaruan regulasi, melainkan sebuah langkah penting dalam menyeimbangkan pengaturan imigrasi dengan perlindungan hak asasi manusia. Perubahan-perubahan yang tercakup di dalamnya menjanjikan lebih banyak kepastian hukum dan keamanan bagi negara, serta berupaya memperbaiki celah-celah yang sebelumnya dianggap merugikan warga negara.
Salah satu alasan utama di balik revisi ini adalah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang sudah dikeluarkan lebih dari satu dekade lalu, yakni putusan Nomor 40/PUU-IX/2011 dan 64/PUU-IX/2011. Dalam putusannya, MK menyatakan bahwa beberapa ketentuan dalam UU Keimigrasian bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, khususnya terkait dengan kebebasan bergerak. Namun, meskipun sudah ada putusan tersebut, revisi UU Keimigrasian baru terwujud pada 2024—waktu yang cukup panjang untuk merespons tuntutan tersebut.
Peningkatan Pengawasan dan Keamanan Negara
Indonesia adalah negara kepulauan dengan perbatasan yang sangat luas dan strategis. Oleh karena itu, salah satu perubahan penting yang tercantum dalam revisi ini adalah peningkatan kewenangan pejabat imigrasi dalam pengamanan perbatasan. Pasal baru ini memberikan hak bagi pejabat imigrasi untuk dilengkapi dengan senjata api dalam rangka menegakkan hukum dan menjaga keamanan negara. Meskipun bisa menimbulkan pro dan kontra, langkah ini dianggap perlu untuk menghadapi ancaman kejahatan lintas negara yang semakin kompleks. Namun, tentunya kewenangan ini harus dilaksanakan dengan hati-hati dan diatur dengan ketat untuk menghindari penyalahgunaan.
Perubahan ini tercantum dalam Pasal 3 ayat (4) yang menyatakan bahwa pejabat imigrasi tertentu dapat dilengkapi dengan senjata api dalam rangka melaksanakan fungsi keimigrasian di bidang penegakan hukum dan keamanan negara. Kebijakan ini diambil dengan mempertimbangkan kompleksitas dan tantangan yang dihadapi Indonesia dalam mengamankan perbatasan yang sangat luas, sekaligus untuk melindungi petugas dari situasi berisiko tinggi.
Kasus penculikan terhadap WNA Ukraina yang terjadi di Bali menunjukkan pentingnya pengawasan yang lebih ketat terhadap orang asing yang berada di Indonesia, khususnya di kawasan yang banyak dikunjungi turis. Penculikan tersebut menyoroti celah dalam pengawasan terhadap orang asing dan memberikan gambaran tentang pentingnya peningkatan koordinasi antara instansi terkait, seperti imigrasi dan kepolisian. Dalam hal ini, Pasal 72 ayat (1), (2), dan (3) yang mengatur kewenangan pejabat imigrasi dan kepolisian untuk berkoordinasi dan meminta keterangan terkait data orang asing yang tinggal atau menginap di Indonesia menjadi sangat relevan. Koordinasi yang lebih baik antara imigrasi dan kepolisian dapat mempercepat penanganan insiden dan memperkuat sistem keamanan negara.
Selain itu, beberapa kejadian kerusuhan yang melibatkan WNA di Bali juga menjadi bukti bahwa pengawasan terhadap perilaku orang asing di tempat-tempat wisata sangat penting. Misalnya, beberapa kerusuhan yang dipicu oleh oknum WNA di Bali, yang merusak citra Indonesia sebagai destinasi wisata yang aman, mengindikasikan perlunya penanganan yang lebih ketat. Pasal 102 ayat (1) tentang penangkalan menjadi sangat relevan dalam konteks ini. Penangkalan adalah upaya untuk melarang orang asing yang berperilaku buruk atau merusak ketertiban untuk masuk kembali ke Indonesia.
Pasal 102 ayat (1) menetapkan bahwa penangkalan terhadap orang asing yang dilarang masuk ke Indonesia dapat diberlakukan maksimal selama 10 tahun, dan dapat diperpanjang maksimal 10 tahun lagi. Ini berarti jika seorang WNA terlibat dalam kerusuhan atau tindakan yang merusak citra negara, mereka dapat dikenakan penangkalan yang bersifat jangka Panjang, bahkan permanen. Ketentuan ini sangat penting untuk memastikan bahwa tindakan tegas dapat diambil terhadap orang asing yang mengganggu ketertiban umum atau menyalahi hukum, sekaligus memberi efek jera.
Isu Hak Asasi Manusia dalam Pembatasan Kewenangan Penolakan Keluar Negeri
Salah satu poin yang menarik dalam revisi ini adalah pembatasan kewenangan pejabat imigrasi dalam menolak seseorang keluar negeri. Sebelumnya, penolakan bisa dilakukan pada tahap penyelidikan, yang rentan disalahgunakan. Kini, penolakan hanya bisa dilakukan pada tahap penyidikan dan penuntutan, memberikan kejelasan dan perlindungan lebih bagi hak asasi individu. Dengan begitu, kebebasan bergerak warga negara lebih terlindungi, tanpa adanya penahanan sewenang-wenang yang tak memiliki dasar hukum yang jelas.
Revisi ini tercermin dalam Pasal 16 ayat (1) huruf b, yang menyatakan bahwa penolakan keluar negeri kini hanya dapat dilakukan untuk kepentingan penyidikan dan penuntutan atas permintaan pejabat yang berwenang. Sebelumnya, penolakan dapat dilakukan pada tahap penyelidikan, yang lebih bersifat awal dan belum tentu diteruskan proses hukumnya. Dengan penghapusan frasa “penyelidikan dan”, kini ada batasan yang lebih jelas yang melindungi kebebasan bergerak warga negara.
Perlindungan dan Kepastian Hukum bagi Warga Negara
Tak hanya untuk orang asing, revisi ini juga memberikan perlindungan lebih bagi warga negara Indonesia. Salah satu perubahan penting adalah penegasan bahwa dokumen perjalanan yang diterbitkan negara, seperti paspor, adalah bukti sah kewarganegaraan. Hal ini tidak hanya memberikan kepastian hukum, tetapi juga memperlancar proses administrasi, baik di dalam negeri maupun saat berada di luar negeri.
Revisi ini tercantum dalam Pasal 24A, yang menyatakan bahwa dokumen perjalanan yang diterbitkan pemerintah, seperti paspor dan SPLP, merupakan dokumen negara yang menjadi bukti sah kewarganegaraan Indonesia. Ini memberikan perlindungan hukum yang lebih kuat bagi WNI baik di dalam negeri maupun saat bepergian ke luar negeri.
Penyederhanaan Administrasi Keimigrasian
Selain soal pengawasan, revisi ini juga menyentuh aspek administrasi yang cukup krusial, terutama bagi orang asing yang tinggal di Indonesia. Salah satunya adalah penyelarasan masa berlaku izin masuk kembali dengan izin tinggal tetap (ITAP). Hal ini bertujuan untuk mempermudah administrasi tanpa menambah beban bagi warga asing yang telah memiliki izin tinggal, sekaligus memberi kejelasan tentang durasi tinggal dan izin masuk mereka.
Perubahan ini dapat ditemukan dalam Pasal 64 ayat (3) yang menyatakan bahwa masa berlaku izin masuk kembali bagi pemegang Izin Tinggal Tetap (ITAP) kini disesuaikan dengan masa berlaku ITAP yang dimiliki oleh orang asing tersebut. Dengan penyelarasan ini, pemegang ITAP tidak perlu lagi mengurus izin masuk kembali secara terpisah, yang tentunya menyederhanakan proses administrasi.
Pembatasan Masa Pencegahan Keluar Negeri
Dalam revisi ini, juga terdapat perubahan yang mengatur kepastian hukum terkait masa pencegahan keluar negeri. Sebelumnya, pencegahan keluar negeri bisa diperpanjang setiap kali selama enam bulan tanpa batasan waktu yang jelas. Kini, Pasal 97 ayat (1) mengatur bahwa jangka waktu pencegahan keluar negeri hanya berlaku selama paling lama enam bulan, dan perpanjangannya hanya bisa dilakukan sekali dengan durasi yang sama.
Dengan perubahan ini, pemerintah memberikan kepastian hukum bagi individu yang dikenai larangan untuk keluar negeri. Pembatasan ini memastikan bahwa pencegahan dilakukan secara proporsional dan tidak berlarut-larut tanpa batas waktu yang jelas, sehingga melindungi hak asasi individu untuk bepergian.
Pendanaan untuk Pelaksanaan Fungsi Keimigrasian
Selain perubahan-perubahan yang bersifat regulasi dan kebijakan, revisi ini juga menyentuh soal sumber pendanaan untuk menjalankan fungsi keimigrasian. Pasal 137 ayat (1) huruf b menambahkan aturan tentang sumber dana lain yang sah untuk mendukung operasional keimigrasian, di luar anggaran negara (APBN), seperti hibah atau kerja sama internasional.
Penambahan sumber pendanaan alternatif ini diharapkan dapat meningkatkan fleksibilitas dan responsivitas dalam melaksanakan berbagai kegiatan keimigrasian, termasuk pengawasan, pengamanan perbatasan, dan pelayanan administrasi. Dengan tambahan dana ini, pemerintah diharapkan dapat meningkatkan infrastruktur dan teknologi yang diperlukan untuk mendukung pengelolaan arus masuk dan keluar orang di Indonesia.
Tantangan dan Harapan ke Depan
Namun, tentunya perubahan ini harus diikuti dengan penerapan yang transparan dan akuntabel. Pemerintah perlu memastikan bahwa revisi ini dapat dilaksanakan dengan benar di lapangan, termasuk dengan membuat aturan turunan yang segera diterapkan agar tidak terjadi kerancuan di tingkat pelaksana. Tanpa aturan yang jelas dan segera disosialisasikan, bisa terjadi ketidakpastian yang akan menyulitkan pelaksanaan hukum yang konsisten. Perlu segera diatur cara koordinasi antarinstansi yang lebih baik untuk meningkatkan keamanan negara dan juga agar tidak ada celah yang bisa dimanfaatkan untuk penyalahgunaan kewenangan.
Selain itu, untuk menghindari kejadian seperti pemerasan terhadap WNA Malaysia selama Djakarta Warehouse Project (DWP) dan WNA Cina di Bandara Soekarno-Hatta, penting bagi pemerintah untuk membangun infrastruktur digital yang memadai. Kejadian ini menjadi contoh nyata bahwa pengawasan terhadap petugas imigrasi dan pengelolaan data orang asing harus diperkuat. Infrastruktur digital yang transparan dan dapat dipantau secara real-time akan membantu menanggulangi praktik-praktik tidak terpuji seperti pemerasan, serta memastikan pelayanan keimigrasian terhadap WNA berjalan dengan relatif lebih cepat.
Revisi UU Keimigrasian ini merupakan langkah positif dalam upaya membangun sistem keimigrasian yang lebih baik dan sesuai dengan kebutuhan zaman. Namun, untuk mewujudkan tujuan ini, dibutuhkan komitmen bersama dari pemerintah, lembaga terkait, dan masyarakat untuk mengawasi serta memastikan pelaksanaannya dijalankan dengan benar.
*) Penulis adalah Muhammad Aga Sekamdo, Dosen STIA Madani Klaten, sekaligus Dewan Pengawas Kolaborasi Pemuda Indonesia (KOPI).
sumber: Kabarbaru 04/02/2025
Refleksi Aga tentang Kehidupan Olahraga Disabilitas
Bismillahirrahmanirrahim
Pada Selasa, 7 Januari 2025, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII) melalui Pusat Pendidikan dan Latihan (Pusdiklat) menyelenggarakan kegiatan akademik bermutu tinggi melalui Kuliah Intensif dengan tema “Urgensi Pembentukan Alat Kelengkapan Panitia Khusus (Pansus) Sebelum Tahap Pengambilan Keputusan dalam Pembahasan Rancangan Undang-Undang”. Acara ini berlangsung di Ruang Auditorium Lantai 4, Fakultas Hukum UII, dan dimulai pada pukul 08.30 WIB.
sumber: IG Pusdiklat FH UII 16 Januari 2025
FH UII Menyelenggarakan Kuliah Intensif Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Dengan Tenaga Ahli Dari DPR RI
arsip Aturan Cuti Bersama
[KALIURANG]; Pada Selasa (7/1), Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Indonesia (UII) melalui Pusat Pendidikan dan Latihan (Pusdiklat) menyelenggarakan kegiatan akademik bermutu tinggi melalui Kuliah Intensif dengan tema “Urgensi Pembentukan Alat Kelengkapan Panitia Khusus (Pansus) Sebelum Tahap Pengambilan Keputusan dalam Pembahasan Rancangan Undang-Undang”. Acara ini berlangsung di Ruang Auditorium Lantai 4, FH UII, dan dimulai pada pukul 08.30 WIB.
Menuju Reformasi Sistem Pemasyarakatan: Menimbang Usulan Amnesti bagi Narapidana
Kabar Baru, Opini – Di tengah sorotan terhadap reformasi sistem pemasyarakatan di Indonesia, muncul usulan pemerintah yang menarik perhatian dari banyak kalangan, mulai dari Anggota DPR RI hingga masyarakat biasa. Usulan amnesti bagi sekitar 44.000 narapidana, termasuk di dalamnya 18 terpidana yang dihukum berdasarkan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), menjadi salah satu topik hangat dalam perbincangan publik. Menurut penjelasan pemerintah, sebagian besar dari mereka yang akan mendapatkan amnesti ini merupakan individu dengan kondisi kesehatan yang memprihatinkan, baik fisik maupun mental. Penjelasan ini bagi sebagian kalangan, menjadikan usulan ini dianggap sebagai langkah positif menuju sistem peradilan yang lebih humanis dan reformis. Namun, di sisi lain, ada pula yang meragukan efektivitas serta keadilan dari kebijakan tersebut, termasuk kemungkinan pelanggaran yang dibuat oknum-oknum yang menjadikan kebijakan ini sebagai cara baru memperkaya diri mereka.
Tantangan Sistem Pemasyarakatan
Sebagai seseorang yang selama ini sedikit banyak mempelajari dan mengamati perkembangan sistem peradilan dan pemasyarakatan di Indonesia, saya melihat bahwa sistem pemasyarakatan Indonesia menghadapi beberapa tantangan serius. Overkapasitas penjara, kurangnya rehabilitasi yang efektif, serta kondisi narapidana yang tidak terpenuhi hak asasinya, hingga pemerasan yang dilakukan oknum aparat menjadi isu-isu yang mendesak untuk segera diatasi. Amnesti, dalam konteks ini, bukan sekadar pembebasan bagi mereka yang terlibat dalam kasus-kasus tertentu, tetapi lebih sebagai upaya untuk memperbaiki sistem yang telah lama penuh masalah dan berpotensi merugikan banyak pihak. Data dari Kementerian Hukum dan HAM menunjukkan bahwa Indonesia memiliki lebih dari 270.000 narapidana dengan kapasitas penjara yang hanya mampu menampung sekitar 130.000 orang, menghasilkan overkapasitas hingga 2-3 kali lipat. Beberapa penjara besar, seperti Lapas Cipinang dan Lapas Salemba, mengalami overkapasitas hingga 200%. Hal ini tentu saja mempengaruhi kualitas rehabilitasi dan menyebabkan penurunan kondisi fisik dan mental narapidana
Di tingkat global, masalah overkapasitas penjara telah menjadi isu dihampir seluruh belahan dunia. Berdasarkan data dari World Prison Brief (WPB), Amerika Serikat memiliki angka narapidana per 100.000 penduduk (Incarceration Rates) yang mencapai 541 orang, tergolong sangat tinggi dibandingkan negara lain, dengan tingkat overkapasitas 166,2%. Rwanda dan Turkmenistan juga memiliki angka Incarceration Rates yang sangat tinggi, yakni 620 dan 576 narapidana per 100.000 penduduk, dengan tingkat overkapasitas 141,6% dan 85%. Indonesia sendiri, memiliki angka Incarceration Rates yang tidak terlalu tinggi, yaitu 96 tetapi dengan tingkat overkapasitas yang mencapai 188,3%. Dari data WPB di atas kita bisa menarik kesimpulan bahwa untuk menyelesaikan masalah overkapasitas penjara di Indonesia selain pemberian amnesti juga diperlukan penambahan jumlah penjara dan atau perluasan penjara yang sudah ada, karena sesungguhnya persentase orang yang dipenjara di Indonesia tidaklah tinggi (Incarceration Rates sedang menuju rendah) tetapi kapasitas penjara yang tersedia memang masih terlalu rendah sehingga tidak dapat menampung jumlah tersebut. Kebijakan yang lebih ekstrim bisa dibuat untuk mengurangi lagi Incarceration Rates melalui beberapa cara, seperti rehabilitasi untuk pemakai narkoba dan miras, hukuman kerja sosial untuk kejahatan ringan, dan hukuman alternatif lainnya, dengan demikian makin sedikit jumlah orang yang dipenjarakan sehingga overkapasitas bisa diatasi. Untuk kebijakan penurunan incarceration rate ini kita bisa menjadikan Jepang yang memiliki Incarceration Rates 33 dan tingkat hunian penjara hanya sebesar 56,6% sebagai standar target yang ingin dicapai.
Sisi Positif Amnesti
Dalam rancangan amnesti yang diajukan pemerintah, bagian utamanya adalah narapidana yang menderita penyakit serius atau gangguan jiwa. Selain itu, amnesti juga diperuntukkan bagi mereka yang terlibat dalam kasus-kasus yang berkaitan dengan konflik di Papua, kasus ITE, dan kasus pemakaian narkoba. Pendekatan ini cukup bisa memperlihatkan sisi kemanusiaan yang kadang terlupakan dalam sistem peradilan, yang sering kali lebih mengutamakan hukuman ketimbang rehabilitasi. Pendekatan ini memberikan kesempatan kedua bagi mereka yang sudah menunjukkan penyesalan, dengan standar yang jelas dan ketat tentunya, atau kondisi fisik dan mental yang memburuk, dan disisi lain bisa menjadi cara yang cukup efektif untuk mengurangi beban penjara tanpa mengabaikan prinsip keadilan.
Sebagai tambahan, penelitian yang dilakukan oleh United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) mengungkapkan bahwa sistem pemasyarakatan yang lebih menekankan pada rehabilitasi daripada hukuman dapat mengurangi angka residivisme (UNODC, 2019). Dengan demikian, kebijakan amnesti yang diusulkan bisa jadi merupakan langkah awal membuat sistem pemasyarakatan yang lebih humanis dengan tingkat hunian yang tidak overkapasitas sehingga program rehabilitasi dan reintegrasi sosial bisa dijalankan secara baik dengan harapan setelah bebas para narapidana akan bisa berbaur dalam masyarakat yang dengan demikian diharapkan tingkat kejahatan berulang akan berkurang.
Tantangan dan Risiko yang Perlu Diperhatikan
Meski amnesti ini memiliki potensi untuk memberikan solusi terhadap masalah overkapasitas penjara dan memperbaiki sistem pemasyarakatan, akan tetapi ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Salah satunya adalah keadilan bagi korban-korban dari para narapidana yang akan mendapatkan amnesti ini. Kasus-kasus seperti pelanggaran UU ITE, yang masih sering dianggap kontroversial bahkan terkadang menyebabkan pembelahan ditengah masyarakat, dapat menimbulkan pro dan kontra di semua level masyarakat. Selain itu, memberikan amnesti kepada narapidana yang terlibat dalam kasus-kasus tertentu, seperti narapidana yang terlibat dalam gerakan separatisme di Papua, juga memunculkan pertanyaan tentang apakah kebijakan ini dapat meredakan ketegangan sosial atau justru memperburuk keadaan. Apakah sebelum amnesti telah dilakukan pembinaan yang cukup sehingga jika mereka dibebaskan maka mereka akan bisa bergabung dengan masyarakat dan tidak akan mengulangi tindakan separatisme kembali.
Beberapa kritik terhadap amnesti semacam ini mengingatkan pada pengalaman negara-negara lain, di mana pemberian amnesti terhadap kelompok tertentu dapat memunculkan ketidakadilan bagi pihak-pihak yang merasa dirugikan. Dalam studi oleh International Center for Transitional Justice (2009), disebutkan bahwa pemberian amnesti dapat memperburuk ketegangan sosial dengan menciptakan persepsi bahwa kelompok atau individu tertentu berada di atas hukum; juga dapat merusak kepercayaan pada lembaga pemerintah dan peradilan, ketika masyarakat merasa bahwa pelaku kekerasan tidak dimintakan pertanggungjawaban yang seharusnya; bahkan dapat secara tidak sengaja mendorong kekerasan lebih lanjut, karena para pelaku kejahatan mungkin percaya bahwa mereka memiliki impunitas sehingga dapat melakukan apapapun yang mereka inginkan tanpa harus menerima resiko dari perbuatan tersebut.
Kesimpulan: Reformasi Diperlukan
Sebagai seseorang yang mengamati masalah-masalah sosial dan hukum, saya berpendapat bahwa amnesti ini dapat dipandang sebagai sebuah langkah awal menuju reformasi sistem pemasyarakatan yang lebih humanis yang berbasis pada rehabilitasi. Namun, semua pihak harus menyadari bahwa keberhasilan dari kebijakan ini sangat bergantung pada pelaksanaan yang harus sesuai standar yang sudah ditetapkan, transparan dan adil. Pemerintah dan lembaga terkait harus memastikan bahwa amnesti ini tidak disalahgunakan untuk kepentingan politik, bisnis, keluarga, dan kelompok, atau digunakan untuk menyebabkan kerugian pada pihak tertentu. Dan satu hal yang pasti, amnesti bukanlah solusi tunggal, tetapi bisa menjadi langkah awal menuju sistem pemasyarakatan yang lebih baik dan lebih humanis bagi seluruh masyarakat Indonesia. Untuk itu semua pihak harus terus mengawal agar reformasi sistem pemasyarakatan ini tidak terhenti hanya pada pemberian amnesti semata, melainkan terus berjalan menuju standar baik yang sudah diterapkan dibeberapa negara lain.
Yogyakarta, 18-12-2024
Penulis adalah Muhammad Aga Sekamdo, Dosen STIA Madani Klaten sekaligus Dewan Pengawas Kolaborasi Pemuda Indonesia (KOPI).
sumber: kabarbaru 02/01/2025 arsip publikasi