Namun, sambil duduk melihat jamaah yang terus berdatangan, sementara tempat yang kosong semakin sedikit. Sambil duduk dengan hati senang dan haru saya menatapi wajah orang-orang modern yang shaleh-shaleh tersebut. Memperhatikan mereka terus berdatangan bak arus air yang perlahan tetapi seolah tiada henti. Ditengah-tengah suasana syahdu dan haru tersebut saya terhenyak dengan sebuah realita kecil yang menggangu perasaan. Ketika tempat mulai tidak mampu menampung jamaah, maka saat yang bersamaan alas kaki bertambah banyak dan tempat meletakkannya sudah tidak mencukupi. Terlihatlah realita kecil yang mengganggu tersebut, berulang-ulang, mungkin hampir 80-90% dari jumlah jamaah yang belakangan hadir melakukannya. Sebuah kebiasaan yang mungkin tidak terlalu disadari dan dipedulikan. Mayoritas mereka dengan sangat santainya menginjak alas kaki orang-orang yang telah lebih dahulu datang.
Sepele memang akan tetapi mengganggu rasa. Apakah tidak bisa mereka, ah bukan, apakah tidak bisa kita memilih untuk menata alas kaki kita dengan lebih baik sehingga terlihat rapi dan tidak menginjak-injak yang lain. Sebab menginjak bisa merusak. Sebab menginjak bisa mengotori. Sebab menginjak bisa jadi melambangkan kebiasaan kita dalam berinteraksi dengan orang lain, semoga tidak.