Satu cuplikan dari buku SUPER SANTRI karangan Ridho Ghifary
Masuk pesantren? Emang mau jadi apa nanti?
Itu adalah pernyataan yang seringkali melintas di pikiran orangtua, yang ingin menyekolahkan anaknya di Pesantren. Bagi mereka, tidak ada yang lebih penting dari masa depan anak-anak, kebahagiaan mereka di masa yang akan datang. Dengan menjadi murid sekolah negeri terkenal, atau sekolah swasta yang favorit, paling tidak bisa menjamin kesuksesan anak-anak setelah lulus, daripada yang hanya sekolah di pesantren. Kesannya: Lulusan pesantren paling jadi guru ngaji, yang honornya super sedikit bermodalkan kata ¬ikhlas.
Emangnya cukup makan dari belas kasihan dan rasa terima kasih masyarakat?_Uang memang bukan segalanya, tapi segalanya butuh uang_. Iya ga, sih? Nah, hal ini yang perlu diluruskan. Harus dibenarkan. Takut pada hal-hal yang belum pasti terjadi. Kalau kata para ulama’ , model orang seperti ini adalah orang yang sama sekali tidak pandai berbisnis. Tidak bisa melihat untung rugi.
Sekarang saya ingin bertanya, khususnya untuk Anda, para orang tua.
”Anda takut si anak tidak bisa sukses di dunia? Tidak punya uang?”
”Apakah anda tidak takut anak Anda tidak bisa mengaji?”
”Apakah anda tidak khawatir ketika anak Anda terbiasa meninggalkan shalat?”
”Apakah anda tidak takut? Kalau nanti Anda dimintai pertanggungjawaban, bagaimana Anda mendidik agama anak Anda?”
”Mana yang lebih serem, miskin di dunia fana atau azab Allah yang selamanya?”
Tidak perlu dijawab, saya sudah bisa memprediksi jawaban Anda. Jawaban orang-orang yang beriman pada Allah dan hari akhir. Jawaban orang-orang cerdas. Karena kalau Anda tidak cerdas, Anda tidak akan membeli ataupun membaca buku ini.
Saya tidak mengharuskan Anda menyekolahkan anak Anda di pesantren, sama sekali tidak. Hanya saja, pendidikan agama di sekolah saat ini sangatlah kurang. Hanya dua jam tiap minggu? Jangan bercanda. Allah saja tidak pernah lalai memberi Anda kenikmatan, walau hanya sedetik.
Mungkin semua lulusan SD sudah bisa menghitung. Mungkin semua lulusan SMP sudah pandai mengarang cerita dan membuat eksperimen sains sederhana. Mungkin semua lulusan SMA sudah pandai hitungan aljabar dan teori filsafat lainnya.
Pertanyaannnya,
“berapa persen dari mereka yang sudah lancar mengaji?”
”Berapa anak yang sudah bisa shalat dengan benar?”
Sangat sedikit, Pak, Bu. Sangat sedikit. Itu kenyataannya.
Suatu ketika saya pernah menjadi MC dalam sebuah acara, di salah satu sekolah Islam ternama ibu Kota Jakarta. Ketika saya membagikan _doorprize_, saya bertanya, “Siapa yang sudah hafal 5 Juz?” Terdiam. Tidak ada yang angkat tangan. Satu pun tidak. Oke, mungkin mereka malu Saya tunjukkan hadiahnya bagi yang bisa menjawab. Suasana mulai memanas. Mulai ribut sana-sini. itu lumayan banget. “Oke, ganti pertanyaan, deh. Siapa yang sudah hafal Juz Amma?” Sengaja saya turunkan standarnya. Banyak yang tunjuk tangan. Tapi tidak sampai setengah. Maka saya pilih tiga orang dari setiap jenjang. SMP 3 orang, SMA 3 orang.
Coba saya tes. “Coba baca surah Al-Buruuj, satu ayat satu ayat, ya”, Mereka mulai membaca. Sayangnya, banyak gagalnya. Daripada mereka jadi tambah malu, saya ganti lagi pertanyaannya. “Ok, deh, kita ganti soal. Coba baca surah As-Syams.”
Dimulai dari anak SMA. Bisa sih, tapi bacaannya, menurut saya cukup parah. Panjang pendeknya, makhorijul huruf, kacau, sih. Ini udah SMA lho. Sekolah Islam ternama lagi. Betapa minimnya keilmuan anak-anak kita khususnya dalam ilmu agama mereka.
”Tapi bagaimana dengan pekerjaannya setelah lulus?”
”Mau kuliah di mana? Kan susah kalau anak-anak Cuma lulusan pesantren.”
”Masa mau makan dari hasil ceramah dan ngajar ngaji?”
Tidak usah khawatir Pak, Bu. Banyak juga kok lulusan pesantren bisa menjadi dokter. Dokter yang Islami. Banyak juga kok lulusan pesantren yang jadi Insinyur, Insinyur yang selalu sholat 5 waktu. Banyak juga kok, para pejabat negara, yang notabene adalah lulusan pesantren, para pejabat yang hebat, yang anti korupsi.
Memang kita tidak bisa menjamin, terutama tentang kesuksesan anak-anak di masa yang akan datang. Tidak semua lulusan pesantren itu menjadi anak yang shaleh, apalagi menjadi seorang Ustadz. Tidak semua lulusan pesantren bisa menjadi panutan bagi masyarakat.
Begitu juga sebaliknya, tidak semua lulusan sekolah umum dan sekolah negeri tidak bisa mengaji. Malahan, banyak dari mereka yang bisa menjadi seorang hafidzh Al-Quran.
Itu semua tergantung pilihan si anak, mau jadi apa nantinya. Seberapa besar usaha yang ia lakukan, untuk mencapai cita-citanya Dan sebagai orangtua, membimbing mereka adalah tugas Anda. Memberikan fasilitas dan berbagi dukungan, membantu mereka menggapai impiannya. Doakan setiap waktu, doakan supaya mereka bisa menjadi seorang anak yang bisa bermanfaat bagi orangtuanya.
Saya selalu teringat pesan orangtua saya.
“Tidak masalah kamu mau jadi apa nantinya, yang penting kamu bisa memberikan manfaat pada banyak orang.”
“Kalau kamu menjadi dokter, tapi niatmu Cuma cari uang, lebih baik ga usah jadi dokter. Karena itu Cuma akan merugikan banyak orang.”
“Ga usah takut masalah uang, banyak jalan cari uang, kok. Jadi pegawai kaya Ayah itu juga ga enak, banyak peraturannya, ga bebas. Lebih baik jadi pebisnis, punya usaha.”
“Siapa bilang lulusan kuliah umum bisa langsung dapat pekerjaan? Banyak banget sarjana nganggur di sini. Sarjana semakin banyak tetapi orang yang bisa dipercaya semakin berkurang.”
“Ibu sama Ayah juga ga pernah doain kamu biar jadi dokter atau biar jadi Ustadz. Kita Cuma berdoa, minta sama Allah diberikan yang terbaik. Supaya kalian semua bisa menjadi orang yang sukses, di dunia maupun Akhirat.”
Dan jujur, semua kata-kata itu selalu sukses membuat saya menangis.