JurnalPost.com – Indonesia kini tengah menghadapi tantangan besar dalam sistem pemidanaan, khususnya terkait hukuman mati dan hukuman seumur hidup. Berdasarkan data terbaru dari Sistem Database Pemasyarakatan (SDP) pada 11 Agustus 2025, tercatat 590 orang terpidana mati dan 2.237 orang menjalani hukuman seumur hidup. Di balik angka-angka tersebut, ada realitas yang tak terucapkan: penantian panjang tanpa kepastian yang melukai jiwa dan raga, memenjarakan mereka dalam siklus penderitaan yang tak berkesudahan. Terpidana mati, yang terjebak dalam fenomena “death row”, menunggu keputusan yang bisa saja tak pernah datang. Setiap tahun yang berlalu semakin menambah tekanan mental, ketidakpastian, dan mengikis semangat hidup mereka.
Sebagai respons terhadap kondisi ini, Indonesia mencoba membuka ruang baru dengan diterapkannya Undang-Undang No. 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Baru, yang akan mulai berlaku pada 2 Januari 2026. Salah satu terobosan yang diperkenalkan adalah mekanisme komutasi—proses yang memungkinkan perubahan hukuman berat menjadi lebih ringan. Ini bisa berarti mengubah hukuman mati menjadi penjara seumur hidup atau mengubah hukuman seumur hidup menjadi hukuman penjara dengan batas waktu tertentu.
Namun, meski terkesan progresif, kebijakan ini tidak lepas dari kritik. Komnas HAM dan sejumlah organisasi masyarakat sipil seperti LBHM dan PBHI menilai bahwa prosedur yang ada masih jauh dari sempurna. Beberapa masalah utama muncul: syarat yang dianggap memberatkan, perbedaan ketentuan antara aturan lama dan baru yang menimbulkan kebingungan, serta transparansi prosedur yang masih kurang. Tak jarang, banyak narapidana yang tidak mengetahui hak mereka, yang membuka celah bagi praktik tidak jujur. Selain itu, penilaian perilaku narapidana sering kali tidak dijadikan ukuran utama dalam pemberian komutasi, yang berpotensi mereduksi nilai rehabilitasi itu sendiri. Tak kalah penting, suara korban dan keluarga korban sering kali tenggelam dalam proses pengambilan keputusan.
Dalam pandangan Islam, konsep komutasi memiliki makna yang mendalam. Islam mengajarkan bahwa hak hidup adalah sesuatu yang sangat suci, dan hukuman mati hanya dapat diterapkan dalam kasus yang sangat luar biasa dengan peradilan yang adil dan transparan. Islam juga memberi ruang bagi pengampunan, penebusan, dan rekonsiliasi—nilai-nilai yang sejalan dengan tujuan komutasi, yaitu memberi kesempatan kedua bagi pelaku untuk berubah dan memperbaiki diri.
Ke depan, kebijakan komutasi di Indonesia perlu lebih mengedepankan keadilan yang sejati, bukan hanya formalitas hukum. Mekanisme komutasi harusnya bisa berlaku otomatis bagi mereka yang memenuhi syarat tertentu, tanpa tergantung pada pengajuan grasi, sehingga lebih banyak narapidana yang bisa merasakannya. Harmonisasi antara peraturan baru dan yang lama harus dilakukan agar tak ada lagi kebingungan hukum. Penilaian perilaku narapidana pun sebaiknya tidak hanya ditentukan oleh Mahkamah Agung, namun harus melibatkan berbagai lembaga independen, seperti Komnas HAM, untuk memastikan proses yang lebih objektif dan transparan. Secara teknis, penilaian ini lebih tepat dilakukan oleh Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan, yang memiliki keahlian dan data yang lebih mendalam terkait perilaku narapidana selama menjalani masa hukuman. Kementerian ini memiliki pemahaman yang lebih komprehensif tentang rehabilitasi, partisipasi dalam program pemasyarakatan, serta perubahan perilaku yang terjadi secara nyata dalam diri narapidana. Jika Mahkamah Agung yang menangani, penilaian ini bisa terjebak dalam prosedur hukum yang lebih formal dan kurang memperhatikan aspek-aspek kemanusiaan dan rehabilitasi. Oleh karena itu, melibatkan Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan akan memastikan bahwa penilaian dilakukan secara lebih berdasar kenyataan, profesional, dan berorientasi pada kesempatan kedua bagi narapidana untuk berubah.
Lebih dari itu, kebijakan komutasi juga dapat memainkan peran penting dalam melindungi narapidana yang mungkin menjadi korban salah vonis atau kriminalisasi. Dalam sistem hukum yang penuh ketidakpastian, ada kemungkinan bahwa beberapa orang dihukum secara tidak adil—entah karena kesalahan dalam proses peradilan atau karena adanya penyalahgunaan wewenang. Komutasi memberikan mekanisme untuk melihat kembali keputusan-keputusan yang sudah dijatuhkan, memberi kesempatan bagi mereka yang mungkin tidak seharusnya dihukum mati atau dihukum seumur hidup untuk mendapatkan keringanan hukuman. Hal ini membuka peluang untuk memperbaiki ketidakadilan yang pernah terjadi, dengan memberikan ruang bagi penilaian kembali terhadap kasus-kasus yang tidak semestinya, serta memberikan kesempatan kedua bagi mereka yang mendapatkan ketidakadilan dalam proses hukum. Dengan demikian, komutasi bukan hanya tentang perubahan hukuman, tetapi juga tentang memastikan keadilan bagi mereka yang mungkin terperangkap dalam kesalahan hukum atau kriminalisasi yang tidak berdasar.
Transparansi dalam setiap langkah kebijakan komutasi menjadi hal yang tak bisa ditawar. Pemerintah harus menyajikan laporan yang jelas dan terbuka mengenai pelaksanaan komutasi, sementara masyarakat sipil perlu mengambil peran dalam proses pengawasan. Hanya dengan keterbukaan dan akuntabilitas, kebijakan ini bisa berjalan sesuai dengan harapan.
Sumber: JurnalPost 06 September 2025