JurnalPost.com – Di balik setiap kasus besar—korupsi, perdagangan manusia, kekerasan seksual—selalu ada orang-orang berani yang memilih untuk tidak tinggal diam. Mereka, para saksi dan korban, bertaruh segalanya demi menegakkan keadilan. Tapi, sayangnya, keberanian mereka sering kali tak sebanding dengan perlindungan yang mereka terima.
Kita memang sudah punya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, yang kemudian diperkuat melalui Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014. Tapi kalau mau jujur, aturan ini masih jauh dari sempurna. Di atas kertas memang terlihat ideal, tetapi di lapangan? Banyak saksi dan korban harus berjuang sendirian, menghadapi ancaman, tekanan, bahkan intimidasi, tanpa perlindungan yang benar-benar efektif. Karenanya Revisi atas UU tersebut menjadi keharusan yang harus disegerakan.
Berjuang dengan Tangan Terikat
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) seharusnya menjadi benteng utama bagi mereka yang berani bersuara. Tapi bagaimana bisa maksimal kalau anggaran LPSK hanya sekitar Rp116,2 miliar untuk seluruh Indonesia pada 2023? Dengan dana ‘sekecil’ itu, LPSK harus menangani ribuan permohonan perlindungan dari berbagai kasus berat, mulai dari korupsi kelas kakap sampai kekerasan seksual di pelosok desa.
Belum lagi, kantor LPSK hanya tersedia di Jakarta, Yogyakarta, dan Medan. Bayangkan saksi di pelosok Papua, Maluku, atau Kalimantan—mereka yang mungkin sangat membutuhkan perlindungan—harus berjuang sendiri mencari akses yang layak. Ini bukan sekadar soal jarak geografis, tapi soal hak dasar untuk merasa aman dan dilindungi negara.
Sementara itu, para pelapor atau whistleblower—orang-orang yang dengan keberanian tinggi membongkar kejahatan di institusi atau komunitas mereka—sering kali malah menjadi korban kedua. Mereka diintimidasi, dijauhi, bahkan dipecat, tanpa ada jaminan perlindungan hukum maupun sosial. Justice Collaborator—yaitu saksi pelaku yang membantu membongkar kejahatan besar—juga menghadapi nasib yang tidak kalah buruk. Mereka masih sangat rentan terhadap ancaman fisik dan psikologis, tanpa adanya jaminan relokasi, pengamanan intensif, atau dukungan psikologis yang layak.
Tidak hanya itu, kelompok rentan seperti perempuan korban kekerasan seksual, anak-anak korban kekerasan, dan penyandang disabilitas sering kali tidak mendapat layanan perlindungan yang sesuai kebutuhan mereka. Trauma konseling khusus, layanan hukum ramah anak, fasilitas aksesibilitas—semua itu masih jauh dari kata merata.
Belajar dari Dunia Internasional
Indonesia sebenarnya bukan tanpa upaya. Kita sudah menandatangani beberapa konvensi internasional penting seperti UN Convention Against Transnational Organized Crime (UNTOC) dan UN Convention Against Corruption (UNCAC). Kedua konvensi ini secara tegas menempatkan perlindungan saksi, korban, dan pelapor sebagai elemen vital dalam penegakan hukum.
Misalnya, Pasal 24 UNTOC dalam penjelasannya mendorong negara-negara untuk menyediakan opsi relokasi permanen lintas negara bagi saksi yang berisiko tinggi. Ini penting, terutama untuk kasus-kasus seperti perdagangan manusia yang jelas-jelas melibatkan jaringan internasional.
Sayangnya, di Indonesia, sistem relokasi masih terbatas domestik dan sifatnya sementara. Belum ada kerangka kerja yang memadai untuk kolaborasi antarnegara dalam melindungi saksi atau korban. Padahal, tanpa mekanisme itu, banyak saksi tetap dalam bahaya, dan banyak kasus besar bisa gagal dibongkar karena sumber informasinya terancam.
Revisi UU Jangan Tambal Sulam
Kalau berbicara soal perlindungan saksi dan korban, kita tidak boleh hanya memperbaiki redaksi hukum atau memperhalus istilah. Perubahan kali ini harus benar-benar menyeluruh. Harus berani membenahi sistem dari akarnya.
Kita harus mengadopsi prinsip dari UNCAC Pasal 33, yang secara eksplisit melarang segala bentuk pembalasan terhadap pelapor. Perlindungan hukum, perlindungan kerja, bantuan psikologis, bahkan anonymisasi identitas harus menjadi bagian dari paket perlindungan komprehensif.
Dana ini nantinya digunakan untuk menyediakan layanan rehabilitasi korban: konseling trauma, dukungan sosial-ekonomi, pendidikan, bahkan relokasi kalau diperlukan. Dengan begitu, korban tidak dibiarkan berjuang sendiri setelah mengalami tragedi.
Saatnya Negara Hadir Sepenuhnya
Revisi Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban bukan sekadar proyek legislatif biasa. Ini adalah soal membuktikan bahwa negara berpihak pada keberanian, kebenaran, dan keadilan.
Kalau kita gagal membangun sistem perlindungan yang kuat, berarti kita ikut membiarkan suara-suara yang seharusnya menyalakan harapan malah tenggelam dalam ketakutan. Kita tak bisa lagi berpura-pura tidak tahu.
Waktunya negara benar-benar hadir—bukan hanya dalam teks hukum, tetapi dalam tindakan nyata—untuk melindungi mereka yang memilih berdiri di pihak kebenaran.
Yogyakarta, 26-04-2025
Muhammad Aga Sekamdo*
*Dosen STIA Madani, Dewan Pengawas Kolaborasi Pemuda Indonesia (KOPI)
sumber: JurnalPost 27 APril 2025