Dahulu kita sering mendengar kalimat 'Di Masjid Hatiku Terkait'. Implikasi popularitas kata-kata ini menjadikan kegiatan-kegiatan kita berpusat pada masjid. Begitu banyak kader yang menjadi pengurus masjid diberbagai tempat. Begitu banyak rapat-rapat yang diselenggarakan dalam rumah Allah yang dipenuhi barakah. Begitu banyak pengajian hingga TPA yang diampu kader diselenggarakan di masjid. Begitu banyak hal yang kita lakukan sehingga masjid menjadi makmur dalam amal shaleh.
Kini kita hampir tak pernah lagi mendengar istilah 'Di Masjid Hatiku Terkait'. Kader-kader kita disibukkan dengan berbagai aktivitas yang menjauhkan mereka dari masjid bahkan untuk shalat berjamaah sekalipun. Berapa sering kita meringankan diri untuk shalat berjamaah tidak di masjid ketika sedang mengadakan acara atau rapat-rapat partai. Kita beralasan demi efisiensi dan efektivitas acara, karena jika shalat ke masjid akan memakan waktu yang lama, mulai dari perjalanan, antri berwudhu, menunggu shalat dimulai, dan kemungkinan-kemungkinan lainnya. Berapa sering kita memilih rapat di restoran mewah atau tempat rekreasi demi kenyamanan peserta rapat, padahal ada kemuliaan di masjid-masjid. Berapa sering kita melakukan pengajian di gedung-gedung pertemuan, rumah-rumah atau di kos-kosan dengan peserta yang terbatas dan publikasi yang nyaris tidak ada. Begitu banyak hal yang kita lakukan sehingga hati kita dan kader kita menjadi jauh dari masjid lalu keberkahan masjid tidak lagi meliputi diri kita.
Apa Yang Terjadi?
Pertanyaan ini selalu berkecamuk dalam kepala saya, dan sayangnya sampai sekarang saya belum bisa menemukan alasan yang bisa membenarkan semua 'keanehan' yang terjadi pada diri kita ini. Apakah dunia telah melalaikan kita sehingga rumah Allah tak lagi terlihat menarik bagi jiwa-jiwa kita yang kerdil. Ataukah kita telah menjadi begitu inferior menghadapi budaya-budaya di luar Islam yang menuntut kita untuk beraktivitas di gedung pertemuan atau di rumah makan mewah agar terlihat modern dimata manusia yang lemah. Wahai para syaikh tegurlah kami, jangan berdiam diri dalam dzikir yang khusu'. Wahai para ustadz ingatkan kami, jangan asik berkutat dalam bisnis atau politik semata. Wahai para aktivis saling menasehatilah, jangan sampai aktivitas dakwahmu justru membuatmu makin jauh dari Dzat Yang Maha Mencintai. Seorang ustadz yang baru saja kembali dari sekolah di al-Azhar bercerita bahwa dia melihat aktivis dakwah disana jika bertemu saling mengatakan "Kaifa imanuka?" atau dikesempatan lain begitu mendengar kabar salah seorang kader dakwah tertimpa musibah maka mereka berebut mengosongkan uang dalam saku mereka demi membantu saudaranya tersebut. Bagaimana dengan kita?.
Dalil
Rasul saw bersabda: "Apabila seseorang pergi menuju masjid sebelum adzan berkumandang, maka orang tersebut bersinar bagaikan matahari. Apabila datang memenuhi panggilan shalat ketika adzan berkumandang, maka orang tersebut seperti cahaya bulan. Dan apabila dia datang segera setelah selesai adzan, maka dia bercahaya seperti bintang-bintang" (al Hadits).
Saya suka dengan alasan-alasan untuk berbuat kebaikan. Dan untuk bahasan yang sedang kita lakukan ini, hadits di atas saya rasa seharusnya cukup untuk menggerakkan diri kita berpacu dalam memakmurkan masjid. Lalu apa hal berat yang menggelayuti diri kita sehingga masjid menjadi sepi dari aktivitas amal dan dakwah kita?.
Fakta
Ada sedikit gambaran yang dapat kita lihat dengan sangat mudah bagaimana jauhnya kita dari masjid menjadikan dakwah ini 'merugi' dalam banyak hal. Datanglah ke masjid-masjid disekitar kampus UGM, maka kita akan sedikit sekali menemukan kader yang shalat berjamaah di masjid (atau jangan-jangan memang sudah tidak ada kader disekitar kampus itu?!). Lebih sedikit lagi kader yang menjadi takmir atau penunggu masjid. Dan lebih sedikit lagi yang aktif memakmurkan masjid dengan berbagai kajian, tilawah, shalat wajib dan sunah. Namun, saya tetap mengucap syukur karena ada gerakan Islam lain yang memakmurkan masjid-masjid tersebut dengan berbagai kajian umum yang terbuka bagi siapa saja, meskipun mereka terkadang menghujat kita atau gerakan Islam lainnya, tetapi mereka tetap berjasa memakmurkan masjid. Kesedihan tetap menyelimuti saya karena ternyata banyak kader kita yang tidak lagi mencintai masjid seperti yang dikehendaki Allah dan Rasul-Nya.
Berdirilah sejenak di jalanan sekitar kampus UGM, kita akan segera dapat melihat sosok-sosok para 'mantan akhwat' dan 'mantan ikhwan' berseliweran dengan tampilan baru mereka. Para 'mantan akhwat' berjubah lebar dan memakai sapu tangan untuk menutupi wajah mereka, atau bercadar tapi berjubah selebar kebanyakan akhwat kader kita. Para 'mantan ikhwan' terlihat bercelana cingkrang tapi dengan balutan jaket jamaah mushalla fakultas, atau berbaju panjang tapi menaiki motor yang sudah dimodifikasi. Kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang sering ke masjid untuk memakmurkannya, dan yang mereka temui di masjid serta membimbing mereka disana ternyata mendidik mereka menjadi seperti fenomena di atas. Bahkan tak jarang mereka menjadi orang-orang yang menghujat kita karena itulah yang diajarkan pada mereka di masjid-masjid yang mereka datangi.
Perluasan Dakwah
Bukankah kita diajarkan untuk meluaskan skup dakwah. Jika pada awalnya kita bergerak dikalangan kampus saja, lalu kita bergerak ke masyarakat, dan sekarang memasuki dunia politik praktis. Namun, ingatlah perluasan dakwah berbeda dengan perpindahan dakwah. Kita diharapkan meluaskan skup dakwah dari sekedar berdakwah di kampus maka kita meluaskannya dengan berdakwah juga di kampung, artinya dakwah di kampus tetap berjalan dengan baik sementara dakwah di kampung mulai kita jalani. Bukan dakwah kampus kita tinggalkan, lalu kita berkonsentrasi dengan dakwah kampung saja. Jangan sampai kita menjadi orang serakah yang ingin mengambil mutiara sebanyak mungkin sehingga tidak menyadari bahwa kita telah membuang emas yang kita punya, dan baru tersadar ketika melihat kenyataan emas kita telah ambil orang lain.
Kembali ke Masjid
Saya teringat syair sebuah nasyid berjudul "Kembali ke Masjid", yang dipopulerkan oleh grup nasyid Nuansa.
Saat langkah tersendat di kehidupan
Letih karna debu kealpaan
Wajah tak lagi pancarkan keimanan
Tertatih tiada tujuan
Lembar demi lembar hari kulewati
Namun ketenangannya tiada pasti
Mencari kini tempat yang mencukupi
Tuk susun langkah yang lebih pasti
Reff:
Kembali ke masjid teduhkan hatimu
Basuhlah jiwa yang lusuh karena debu
Kembali ke masjid segarkan jiwamu
Sujudlah tawadhu di hadapan Robb-mu
Kembali ke masjid teduhkan hatimu
Basuhlah jiwa yang lusuh karena debu
Kembali ke masjid segarkan jiwamu
Tercurah hanya tuk keridhoan Robb-mu
Saudaraku semua, tulisan ini tidak bermaksud mematahkan dakwah yang telah terbangun diberbagai gedung mewah, TV, Radio, gedung MPR DPR, kantor-kantor pemerintahan dan swasta, atau dimanapun. Tulisan ini hanya ingin mengingatkan bahwa masjid adalah tempat yang mulia yang dipenuhi dengan keberkahan. Rumah Allah dimana pada awalnya kita memulai semua usaha dakwah ini sebelum melakukan perluasan gerakan dakwah keberbagai tempat. Dimana seharusnya masjid tetap menjadi titik sentral dakwah kita sambil menyebarkan kader-kader ke tempat-tempat di luar masjid, karenanya saya menyerukan agar kita KEMBALI KE MASJID.
Kini kita hampir tak pernah lagi mendengar istilah 'Di Masjid Hatiku Terkait'. Kader-kader kita disibukkan dengan berbagai aktivitas yang menjauhkan mereka dari masjid bahkan untuk shalat berjamaah sekalipun. Berapa sering kita meringankan diri untuk shalat berjamaah tidak di masjid ketika sedang mengadakan acara atau rapat-rapat partai. Kita beralasan demi efisiensi dan efektivitas acara, karena jika shalat ke masjid akan memakan waktu yang lama, mulai dari perjalanan, antri berwudhu, menunggu shalat dimulai, dan kemungkinan-kemungkinan lainnya. Berapa sering kita memilih rapat di restoran mewah atau tempat rekreasi demi kenyamanan peserta rapat, padahal ada kemuliaan di masjid-masjid. Berapa sering kita melakukan pengajian di gedung-gedung pertemuan, rumah-rumah atau di kos-kosan dengan peserta yang terbatas dan publikasi yang nyaris tidak ada. Begitu banyak hal yang kita lakukan sehingga hati kita dan kader kita menjadi jauh dari masjid lalu keberkahan masjid tidak lagi meliputi diri kita.
Apa Yang Terjadi?
Pertanyaan ini selalu berkecamuk dalam kepala saya, dan sayangnya sampai sekarang saya belum bisa menemukan alasan yang bisa membenarkan semua 'keanehan' yang terjadi pada diri kita ini. Apakah dunia telah melalaikan kita sehingga rumah Allah tak lagi terlihat menarik bagi jiwa-jiwa kita yang kerdil. Ataukah kita telah menjadi begitu inferior menghadapi budaya-budaya di luar Islam yang menuntut kita untuk beraktivitas di gedung pertemuan atau di rumah makan mewah agar terlihat modern dimata manusia yang lemah. Wahai para syaikh tegurlah kami, jangan berdiam diri dalam dzikir yang khusu'. Wahai para ustadz ingatkan kami, jangan asik berkutat dalam bisnis atau politik semata. Wahai para aktivis saling menasehatilah, jangan sampai aktivitas dakwahmu justru membuatmu makin jauh dari Dzat Yang Maha Mencintai. Seorang ustadz yang baru saja kembali dari sekolah di al-Azhar bercerita bahwa dia melihat aktivis dakwah disana jika bertemu saling mengatakan "Kaifa imanuka?" atau dikesempatan lain begitu mendengar kabar salah seorang kader dakwah tertimpa musibah maka mereka berebut mengosongkan uang dalam saku mereka demi membantu saudaranya tersebut. Bagaimana dengan kita?.
Dalil
Rasul saw bersabda: "Apabila seseorang pergi menuju masjid sebelum adzan berkumandang, maka orang tersebut bersinar bagaikan matahari. Apabila datang memenuhi panggilan shalat ketika adzan berkumandang, maka orang tersebut seperti cahaya bulan. Dan apabila dia datang segera setelah selesai adzan, maka dia bercahaya seperti bintang-bintang" (al Hadits).
Saya suka dengan alasan-alasan untuk berbuat kebaikan. Dan untuk bahasan yang sedang kita lakukan ini, hadits di atas saya rasa seharusnya cukup untuk menggerakkan diri kita berpacu dalam memakmurkan masjid. Lalu apa hal berat yang menggelayuti diri kita sehingga masjid menjadi sepi dari aktivitas amal dan dakwah kita?.
Fakta
Ada sedikit gambaran yang dapat kita lihat dengan sangat mudah bagaimana jauhnya kita dari masjid menjadikan dakwah ini 'merugi' dalam banyak hal. Datanglah ke masjid-masjid disekitar kampus UGM, maka kita akan sedikit sekali menemukan kader yang shalat berjamaah di masjid (atau jangan-jangan memang sudah tidak ada kader disekitar kampus itu?!). Lebih sedikit lagi kader yang menjadi takmir atau penunggu masjid. Dan lebih sedikit lagi yang aktif memakmurkan masjid dengan berbagai kajian, tilawah, shalat wajib dan sunah. Namun, saya tetap mengucap syukur karena ada gerakan Islam lain yang memakmurkan masjid-masjid tersebut dengan berbagai kajian umum yang terbuka bagi siapa saja, meskipun mereka terkadang menghujat kita atau gerakan Islam lainnya, tetapi mereka tetap berjasa memakmurkan masjid. Kesedihan tetap menyelimuti saya karena ternyata banyak kader kita yang tidak lagi mencintai masjid seperti yang dikehendaki Allah dan Rasul-Nya.
Berdirilah sejenak di jalanan sekitar kampus UGM, kita akan segera dapat melihat sosok-sosok para 'mantan akhwat' dan 'mantan ikhwan' berseliweran dengan tampilan baru mereka. Para 'mantan akhwat' berjubah lebar dan memakai sapu tangan untuk menutupi wajah mereka, atau bercadar tapi berjubah selebar kebanyakan akhwat kader kita. Para 'mantan ikhwan' terlihat bercelana cingkrang tapi dengan balutan jaket jamaah mushalla fakultas, atau berbaju panjang tapi menaiki motor yang sudah dimodifikasi. Kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang sering ke masjid untuk memakmurkannya, dan yang mereka temui di masjid serta membimbing mereka disana ternyata mendidik mereka menjadi seperti fenomena di atas. Bahkan tak jarang mereka menjadi orang-orang yang menghujat kita karena itulah yang diajarkan pada mereka di masjid-masjid yang mereka datangi.
Perluasan Dakwah
Bukankah kita diajarkan untuk meluaskan skup dakwah. Jika pada awalnya kita bergerak dikalangan kampus saja, lalu kita bergerak ke masyarakat, dan sekarang memasuki dunia politik praktis. Namun, ingatlah perluasan dakwah berbeda dengan perpindahan dakwah. Kita diharapkan meluaskan skup dakwah dari sekedar berdakwah di kampus maka kita meluaskannya dengan berdakwah juga di kampung, artinya dakwah di kampus tetap berjalan dengan baik sementara dakwah di kampung mulai kita jalani. Bukan dakwah kampus kita tinggalkan, lalu kita berkonsentrasi dengan dakwah kampung saja. Jangan sampai kita menjadi orang serakah yang ingin mengambil mutiara sebanyak mungkin sehingga tidak menyadari bahwa kita telah membuang emas yang kita punya, dan baru tersadar ketika melihat kenyataan emas kita telah ambil orang lain.
Kembali ke Masjid
Saya teringat syair sebuah nasyid berjudul "Kembali ke Masjid", yang dipopulerkan oleh grup nasyid Nuansa.
Saat langkah tersendat di kehidupan
Letih karna debu kealpaan
Wajah tak lagi pancarkan keimanan
Tertatih tiada tujuan
Lembar demi lembar hari kulewati
Namun ketenangannya tiada pasti
Mencari kini tempat yang mencukupi
Tuk susun langkah yang lebih pasti
Reff:
Kembali ke masjid teduhkan hatimu
Basuhlah jiwa yang lusuh karena debu
Kembali ke masjid segarkan jiwamu
Sujudlah tawadhu di hadapan Robb-mu
Kembali ke masjid teduhkan hatimu
Basuhlah jiwa yang lusuh karena debu
Kembali ke masjid segarkan jiwamu
Tercurah hanya tuk keridhoan Robb-mu
Saudaraku semua, tulisan ini tidak bermaksud mematahkan dakwah yang telah terbangun diberbagai gedung mewah, TV, Radio, gedung MPR DPR, kantor-kantor pemerintahan dan swasta, atau dimanapun. Tulisan ini hanya ingin mengingatkan bahwa masjid adalah tempat yang mulia yang dipenuhi dengan keberkahan. Rumah Allah dimana pada awalnya kita memulai semua usaha dakwah ini sebelum melakukan perluasan gerakan dakwah keberbagai tempat. Dimana seharusnya masjid tetap menjadi titik sentral dakwah kita sambil menyebarkan kader-kader ke tempat-tempat di luar masjid, karenanya saya menyerukan agar kita KEMBALI KE MASJID.
Penulis: M. Aga S.
Published at Tabloid Padi Emas DPW PKS DIY, Edisi 2/Tahun I/Mei-Juni 2007