Karenanya, sikap-sikap politik dan kenegaraan mereka pun mandiri.
Tidak banyak mudahanah, cari-cari muka, tidak mengaku paling NKRI, tidak mengaku paling Pancasilais, pengakuan mereka tidak diperlukan sebab tindakan mereka lebih dari cukup untuk menjadi bukti.
Muhammadiyah selalu bisa diharapkan, bahkan saat Revolusi Jilbab di era orde baru, saat siswa-siswa berjilbab begitu didiskriminasikan, sekolah-sekolah Muhammadiah lah yang menampung mereka. Kasus Siyono yang terbaru, Muhammadiyah pula yang advokasi. Kasus penistaan agama oleh BTP, Muhammadiyah pula yang menempuh jalur hukum beserta elemen lainnya. Muhammadiyah pun banyak mengajukan judicial review atas undang2 yang merugikan rakyat.
Ketika liberalisme agama menyerang pemuda-pemuda, pemuda-pemuda Muhammadiah pun terdampak tapi tak banyak, juga tak berkembang.
Warga Muhammadiah tak begitu tertarik menjual agama demi uang, sebab perut mereka sudah cukup, mereka mandiri, mereka pun banyak memberi.
Saya dengar salah satu kisah dari sesepuh kami, gerakan Misionaris di salah satu kampung kewalahan bersaing dengan Muhammadiyah.
Mereka memberi beras, Muhammadiyah juga memberi beras, mereka buat TK, Muhammadiyah juga buat TK, mereka bagikan permen, Muhammadiyah pun bagikan permen.
Akhirnya, ummat lapar itu lebih memilih ngaji ke TK Muhammadiyah, sama2 Islam, sama2 dapat beras.
Saya yakin, semua keberkahan ini berawal dari kata-kata Kyai Dahlan “hidup-hidupilah Muhammadiyah, jangan mencari hidup dari Muhammadiyah”
Salam hormat untuk Muhammadiyah. Ingin belajar dari Muhammadiyah.
Gus Asror
Pesantren Sidogiri
Pesantren NU Tertua Jawa Timur
Pesantren Sidogiri
Pesantren NU Tertua Jawa Timur
Source: Sang Pencerah Juli 28, 2017