CINTA

14.46

Cinta tak hanya tentang hati tapi juga mengenai akal, doa, dan tanggung jawab. Hal ini sangat kental terasa dalam relasi antara anak dengan orang tua. Tulisan lama saya dibawah ini ingin mengajak kita menimbang kembali definisi cinta dengan memasukkan unsur-unsur logika didalamnya.


SAYANG AYAH-IBU


Jika suatu ketika kita tertimpa musibah sakit sehingga selama seminggu kita harus berdiam di rumah "menuju sehat", bertemu dengan dokter dan perawat, bercengkrama dengan obat-obatan, menikmati wanginya karbol, memakan bubur, menyebalkan!. Naimun, ada satu orang teman yang senantiasa menemani kita, tak jemu-jemu datang dari pagi, keluar sebentar, siang kembali lagi, keluar, malam datang dan menginap, lalu pulang untuk mandi dan berangkat kuliah. Begitulah yang dia kerjakan selama seminggu kita sakit, tentu saja karena dia merupakan salah satu teman yang paling dekat dengan kita selama ini, kita pun akan melakukan hal yang sama jika sang teman ditimpa musibah yang sama.  

Teman lain, yang juga dekat dengan kita, tak bisa datang terlalu sering tapi ia memberi senantiasa membawa makanan setiap kali datang. Bahkan lebih jauh lagi, ia memberi bantuan beberapa ratus ribu rupiah ketika kita harus keluar dari rumah "menuju sehat" tersebut. Ia anak orang kaya, sudah bekerja pula disebuah perusahaan bonafide sehingga uang yang beberapa ratus ribu tadi tak begitu berarti baginya. Setelah itupun ia masih kerap datang dan membelikan kita obat-obatan.

Teman yang senantiasa menunggui kita adalah seorang wanita (anggaplah "kita" memiliki jenis kelamin wanita) yang sangat baik hati, mencintai kita dengan sepenuh hatinya. Ia bagaikan saudara yang bertemu ditanah perantauan, tak mungkin terlupakan. Teman yang dengan senang hati memberikan bantuan finansial kepada kita merupakan seorang pria yang sangat mengerti arti dari kata persaudaraan, ia senantiasa buktikan dengan perbuatan-perbuatan mulianya, tidak hanya berhenti pada kata-kata.  

Apa yang ada dalam hati kita melihat apa yang diperbuat dua orang teman tadi? Bahagia! ya tentu... masih ada orang yang peduli pada kita. Berterima kasih! pasti... sulit mencari orang-orang baik dizaman ini. Mulia! iya donk... gimana enggak, nemenin di rumah sakit, ngasih duit ratusan ribu. Dan tentu masih sangat banyak lagi yang kita bisa berikan untuk mereka meskipun itu hanya dalam hati saja. Belum lagi pujian yang kita berikan kepada mereka secara lisan. Berapa kali kita puji kebaikan itu, entah langsung kepada kedua orang itu "kamu memang baik sekali deh, seneng punya teman kayak kamu", atau kita puji keduanya kepada orang lain "Waktu aku sakit dulu itu, si A kan selalu temenin aku di rumah sakit, si B itu kasih aku uang untuk bayar rumah sakitnya. Wah pokoknya emang enak punya teman yang baik kayak mereka, susah lho cari teman kayak mereka sekarang ini. Mana ada sih orang yang melakukan perbuatan kayak gitu tanpa pamrih kecuali mereka memang punya hati semulia malaikat". Belum lagi do'a yang kita berikan untuk mereka dengan sepenuh ikhlash, dengan segenap kekhusyu'an hati "semoga Allah memberi syurga-Nya pada kalian berdua", atau dilain kesempatan "Ya Allah, limpahilah si A dan si B itu pahala yang sangat besar karena mereka sangat mulia Ya Allah, mereka bantu aku ketika aku sakit Ya Allah, saat dimana orang lain justru tidak menunjukkan rasa kemanusiaan mereka".

Membalas kebaikan yang demikian memang sudah merupakan suatu kewajaran, bahkan mungkin suatu keharusan. Orang yang tidak mampu untuk memberikan balasan atas kebaikan yang seperti itu cenderung akan dianggap sebagai orang yang tak punya rasa terima kasih sama sekali. Namun, terkadang kita justru tak pernah memberi rasa terima kasih, dalam semua bentuk ekspresi, kepada orang tua kita... sebuah ironi.

Jika teman wanita kita tadi menemani selama satu minggu di rumah sakit, maka coba ingat berapa lama Ibunda kita tak tidur karena kita selalu rewel. Berapa lama Ibunda membawa kita kemanapun, mulai dari kita masih berupa janin kita sudah mulai merepotkan Beliau. Semakin hari calon tubuh kita semakin berat, Ibunda sudah semakin sulit untuk bergerak, tidurpun tak bisa lagi semaunya. Melahirkan kita dijalani Ibunda kita dengan mempertaruhkan nyawanya. Masa kita bayi, Ibunda memenuhi hari-harinya dengan tidur yang tak teratur. Jam lima pagi kita terbangun karena lapar, jam enam pagi kita dimandikan, jam tujuh pagi kita ngompol,... jam 12 malam kita menangis karena digigit nyamuk, jam 12.30 menangis lagi karena merasa tidak nyaman,... jam tiga pagi menangis pula hanya karena tak merasakan sentuhan jari Ibunda, jam empat pagi minta digendong keliling rumah, jam lima pagi terbangun lagi karena lapar. Siklus hidup Ibunda kita dipenuhi dengan kita... kita... dan kita... Berapa tahun itu semua berlangsung?! Sekarangpun Ibunda di rumah sering khawatir dengan kita, jangan-jangan anakku kecelakaan, jangan-jangan anakku dipukul orang, jangan-jangan anakku kelaparan, sehingga jangan heran jika kemudian seorang Ibu tak tidur bila sang anak belum pulang, atau menelpon selalu sang anak bila anak tersebut merantau. Semua itu dilakukannya dengan cinta, ia bahkan mungkin tak pernah minta kita untuk menemaninya ke rumah sakit (mungkin karena ia tahu kita akan menolaknya) atau belanja ke pasar, "malu ah, masak udah besar kemana-mana masih sama Ibu. Anak mami banget deh". Kita hanya akan lihat sebersit kebahagiaan dimatanya yang keruh tapi teduh itu ketika pulang dari bepergian kita temui dia dan mencium punggung tangan mulianya, ya... bagi tiap kita ia lebih mulia dari seorang ulama sekalipun.  

Teman lelaki kita mungkin sangat dermawan. Namun, ingatkah kita dengan lelaki lain yang jauh lebih dermawan?! Sosok Ayah. Sosok yang cenderung kita asosiasikan dengan kegalakannya, peraturan-peraturan keras, sok kuasa. Ayah jelas bukan manusia sempurna, tapi pernahkah kita berpikir betapa dermawannya dia. Entah sudah berapa "trilyun" biaya yang ia keluarkan untuk kita, semenjak kita masih kecil hingga saat ini. Ia pergi sejak pagi hingga sore, kadang malam, untuk mencari rejeki yang Allah janjikan, lalu apapun yang didapatnya diberikan pada kita, keluarganya. Dicium pipi kita sebelum dia berangkat tidur, meskipun dia sangat lelah. Apa pernah ia minta semua itu dibayarkan kembali?! Kita hanya akan lihat ekspresi haru ketika kita pulang ke rumah dan berkata "Ayah, aku jadi juara lomba lukis", atau "Ayah, aku sudah kelas enam sekarang". Ia memang "garang", tapi itu terpaksa dia lakukan karena dia ingin ada orang yang kita takuti sehingga ketika kita terlalu sulit diarahkan oleh Ibunda maka masih ada Ayahanda yang "bisa" mengarahkan kita. Ia terbebani dengan kewajiban untuk menjadikan kita manusia-manusia yang berguna bagi bangsa, negara dan agama.

Dizaman ini memang sulit mencari orang-orang baik yang memiliki hati seperti malaikat dan ketulusan yang tak berbatas. Anehnya, ada orang-orang seperti itu yang senantiasa berada disekitar kita tapi kita tak pernah menyadari hal tersebut. Kita tak pernah menyadari bahwa Ibu dan Ayah kita tentulah layak disebut "malaikat" ketika teman kita yang hanya seminggu menemani dan memberi uang ratusan ribu kita sebut seperti malaikat karena Ibunda temani kita ratusan minggu, Ayahanda beri kita uang "trilyunan". Kita buta terhadap kemuliaan Ayah-Ibu kita sehingga kitapun, jangan-jangan, tak pernah menganggap mereka semulia itu. Lalu bagaimana mungkin kita akan membalas kebaikan mereka ketika kita bahkan tak menyadari bahwa mereka sangat baik.

Mulailah untuk "melihat" dengan proporsional kebaikan-kebaikan yang ada disekitar kita, sehingga kitapun bisa melihat kebaikan orang Ayah-Ibu kita. Jika kita anggap membalas kebaikan merupakan sebuah kewajiban maka balaslah kebaikan Ibunda yang telah menjadi "malaikat" penjaga kita sedari kita kecil, dan kebaikan Ayahanda yang memberi kita "beasiswa" tanpa batas, tanpa syarat. Mulailah dari hati kita. Katakan pada hati kita bahwa keduanya adalah makhluk yang sangat mulia, berterimakasihlah meski baru di dalam hati. Lalu bawa mereka dalam do'a-do'a kita "Rabb, ampuni dosa kedua orang tuaku. Rabb, jaga mereka dengan penjagaan Mu yang tak pernah tersalah karena mereka menjagaku dengan sepenuh kasih dan sayang mereka, dengan sepenuh jiwa mereka, dengan sepenuh hati mereka. Rabb, bahagiakan mereka karena ku tahu, aku hanya bisa beri mereka kebahagiaan semu dan sesaat, hanya Engkau yang bisa beri bahagia sejati. Rabb, ampuni dosa mereka karena sesungguhnya orang-orang semulia mereka tak layak masuk dalam neraka Mu. Rabb, beri mereka Ridha-Mu, meski mereka bukan sufi atau ulama, tapi hati mereka mungkin jauh lebih mulia karena mereka beri semua tanpa meminta apapun, mereka jalankan Amanat-Mu untuk menjagaku". Nyatakan cintamu pada Ayah-Ibu, mungkin dengan kata "Ibuku sayang, saya mau berangkat dulu ya..." atau "Ayah enggak boleh kurang tidur lho, entar malah sakit", atau dengan perbuatan kita, mencium punggung tangan mereka atau membawa berita baik setiap kali kita kembali ke rumah yang penuh dengan cinta itu. Ungkapkan kebaikan mereka pada orang-orang sekitar, agar orang-orang disekitar kitapun segera menyadari betapa mulia Ayah-Ibu mereka. "Ayahku itu kalau malam sering bangun terus liatin anak-anaknya, ada yang enggak bisa tidur apa enggak, kalau enggak bisa tidur biasanya dia ajak kita ngobrol", "Aku dan Ayahku sering rebutan kipas angin, abis rumahku kan panas jadi kalau mau tidur aku rebut kipas dari hadapan ayah, tapi nanti ayah akan segera sadar dan merebut kipas itu. Ujung-ujungnya sih aku tinggal nangis dan ayah pasti ngalah deh", "Ibuku pintar banget deh buat es buah, wah kalau kamu makan pasti kamu pengen terus, pokoknya tak ingin kelain hati he..he..". Dan tentu saja masih ada banyak ekspresi lain yang dapat kita gunakan untuk "membalas" kebaikan mereka, asalkan kita memang mau untuk itu, itupun kalau kita menyadarinya.

Tulisan ini sebenarnya, dibuat untuk saya sendiri... untuk saya pajang dalam ruang hati saya karena saya masih sangat sadar dengan ketidaksadaran saya akan kemuliaan Ayah-Ibu, saya terlalu sering lupa dengan hal tersebut. Dan susahnya lagi, ketika teringat saya punya masalah untuk mengungkapkan cinta saya pada mereka. Ini langkah awal saya. Saya akan katakan "Ummi, aku sangat sayang ummi. Maafin kalau selama ini aku selalu membuat ummi menangis. 'mi, terus kapan donk aku boleh menikah (lho kok?!)", "Abiku punya darah tinggi, jadi kalau marah dia sangat mengerikan deh, tapi dia sangat sayang aku sehingga kalau marah pun dia tak pernah marah padaku". "Ya udah deh 'mi, aku pulang bulan Juli ini terus wisuda Agustus tapi 'mi Agustusnya sekalian nikah ya... boleh donk 'mi".

sehabis ditelpon ummi, 03-05-2001
M.Aga S - dimuat di tasauf hikmah & peka.or.id

Tema cinta ini saya sampaikan kembali dalam diskusi KMI UPN bersama peserta mabit, 09 Mei 2014 di masjid UPN Ring Road Utara Jogja.

You Might Also Like

0 komentar

recent posts

Follow My Facebook